Hitam, Besar, Dan Disukai Oleh Agnes Monica – Sebuah Perspektif Akan Vivo V7+

Mari kita bicara mengenai stereotipe. Sebagai manusia, sangat susah bagi kita untuk menghindari penggunaan stereotipe dalam keseharian. Misalnya, ada stereotipe bahwa anggota DPR itu semuanya adalah koruptor, semua pengemudi Avanza tidak ada yang mengerti aturan lalu lintas, atau stereotipe semua orang yang bekerja di creative agency akan susah jodoh. Ada yang benar, tapi bila dilihat secara objektif, kebanyakan tidak.

Dalam dunia pergadgetan, ada stereotipe bahwa produk – produk yang dikeluarkan oleh merek seperti Vivo dan Oppo adalah produk untuk orang yang tidak tahu lebih baik. Orang – orang yang preferensi terhadap pilihan smartphone nya ditentukan oleh rekomendasi sales person di toko Hengky Cellular di ITC terdekat, atau karena smartphone itu digunakan oleh seleb terkenal seperti Afgan atau Raisa. Smartphone untuk orang-orang yang tidak mengerti rasio spesifikasi & harga barang, yang penting mereknya familiar buat mereka, dan terlihat ada di mana-mana. Stereotipe bahwa smartphone ini adalah produk dengan spesifikasi ala kadarnya yang tidak akan memberikan pengalaman memuaskan, dan label harga yang lebih mahal dari semestinya.

Pertanyaannya, apakah itu benar?

Saya beruntung bahwa saya berkesempatan untuk membuktikan stereotipe tersebut karena sejak beberapa minggu lalu, saya menggunakan produk terbaru dari Vivo, V7+ (yang sepertinya digemari oleh Agnes Monica dan peluncurannya disiarkan langsung oleh sembilan TV Swasta nasional), sebagai smartphone harian saya, yang biasanya adalah sebuah iPhone 6s.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Vivo V7+ yang sedang hitz saat ini

Saya bisa katakan bahwa stereotipe tersebut tidaklah benar, dan smartphone ini adalah produk yang bagus, yang sejauh ini sangat memuaskan untuk digunakan. Alasannya akan saya bagi dalam tiga kategori: Mantap (segala yang sangat saya sukai dari smartphone ini), Ya Udah Lah (biasa saja) , dan Aduh (membuat saya menggaruk kepala dengan stress). Untuk yang ingin tahu spesifikasi lengkap dari smartphone ini, bisa lihat di sini.

Mari kita mulai dengan yang Mantap:

  1. Desain.
    OLYMPUS DIGITAL CAMERA
    Tampilan hitam legam nan sederhana
    OLYMPUS DIGITAL CAMERA
    Unibody alumunium dengan garis antenna yang menarik

    Dengan ukuran sasis yang sama dengan smartphone 5.5 inch lainnya, Vivo V7+ ini dapat memuat layar full view 6 inch, dengan desain yang tipis, ergonomis, enak digenggam, dan memiliki penempatan tombol dan fingerprint sensor yang pas. Murah bukanlah kesan yang saya dapatkan ketika saya merasakan smartphone ini. Materi cukup baik dengan metal unibody dan Gorilla Glass 4.

    Ketahanannya juga cukup oke. Saya memutuskan untuk menggunakan smartphone ini tanpa pelindung layar maupun jelly case yang disertakan dalam dusnya. Sekali waktu saya menjatuhkan benda ini (tidak sengaja, sumpah!) dari ketinggian sekitar 50cm ke lantai marmer, dan tidak menemukan penyok maupun lecet di body, atau keretakan di layar. (Harap dicatatat bahwa efek gravitasi terhadap gadget Anda itu bervariasi, tergantung posisi jatuh, tingginya tingkat hoki dan karma di kehidupan sebelumnya)

  2. Layar full view nya.
    Vivo V7+ Screen
    Layar “Fullview” 18:9 dengan bezel minim yang sangat masa kini
    Vivo V7+
    Sangat cocok digunakan untuk memutar video
    Dual screen Vivo v7+ plus
    Fungsi dual screen yang otomatis aktif ketika sedang di aplikasi YouTube

    Layar yang berukuran 6″ dengan rasio 18:9 dan resolusi 720X1440. Tidak terhindarkan bahwa akan ada sebagian orang dengan pengetahuan teknis yang baik, yang akan mencibir apabila melihat resolusi dari layarnya bila dibandingkan dengan produk lain di kelasnya. Namun lain halnya dengan pengalaman menggunakannya. Layar ini besar, terang dan gampang terlihat ketika berada di luar ruangan, dan yang terpenting buat saya, kalibrasi warna yang akurat. Sampai saat ini saya menghindari layar dengan saturasi warna yang terlalu kuat, seperti yang digunakan oleh Samsung, karena memberikan warna yang tidak akurat saat mengedit foto. Layar iPhone adalah alat andalan saya ketika harus berurusan dengan pengeditan foto, apalagi penyetelan warna. Nah, layar Vivo V7+ ini menggunakan kalibrasi warna yang natural, vibrant (walau sedikit kebiruan bila dibandingkan iPhone, tapi tidak mengganggu), dan menggunakan ambient light sensor yang akurat membaca situasi pencahayaan lingkungan sekitar, tidak seperti beberapa smartphone yang pernah saya miliki (uhukLGuhuk). Tidak pernah sekalipun saya merasa bahwa layar ini kurang tajam, kurang terang atau kurang berwarna berwarna. Layar ini juga berkontribusi terhadap performa batere yang mumpuni, seperti di poin berikut.

  3. Kinerja prosesor dan performa batere .
    Vivo V7+ gaming
    Performa tidak mengecewakan saat digunakan untuk permainan 3D dengan animasi yang berat.

    Skeptis adalah perasaan yang muncul ketika mengetahui bahwa smartphone ini menggunakan prosesor Snapdragon 450. Biasanya, smartphone dalam kisaran midrange ini selalu menggunakan prosesor jenis Snapdragon 6 series, yang performanya lebih mumpuni dari 4 series. Setelah menggali lebih dalam, ternyata saya menemukan bahwa seri 450 ini adalah keluaran terbaru dari Qualcomm yang memiliki performa melebih seri 430, memiliki arsitektur yang sama dengan seri 625, dan mempunyai kelebihan di umur batere yang lebih panjang. Setelah beberapa minggu menggunakannya, saya sekarang mengerti bahwa spesifikasi itu tidak selalu dapat diterjemahkan secara harafiah ke dalam user-experience. Saya tidak pernah menemukan skenario di mana saya membutuhkan daya lebih, meskipun ketika membuka aplikasi permainan 3D yang membutuhkan daya intensif seperti Asphalt 8 atau True Skate (yang notabene adalah simulasi Skateboarding terbaik yang pernah saya temukan). Umur batere nya pun sangat bagus. Saya selalu mengakhiri hari dengan sekitar 40% – 30% daya di smartphone tersebut, meskipun menggunakannya untuk push-email, memutar video sekitar 30 menit – 1 jam, permainan, penggunaan kamera & Instagram Moments yang cukup banyak, maupun internet tethering ketika harus memperbaharui sistem operasi iPhone saya (2GB tethering Telkomsel!). Secara keseluruhan, kinerja smartphone ini memuaskan. Kita lihat performanya setelah penggunaan yang lebih lama.

  4. Kualitas audio.
    Vivo V7+ audio
    Mode HiFi otomatis menyala ketika menggunakan aplikasi yang didukung.

    Ketika berbicara mengenai topik ini, saya ingin menggaris bawahi bahwa yang saya maksud adalah kualitas audio ketika dihubungkan dengan headphone. Speaker bawaan Vivo V7+ ini sebenarnya cukup baik. Suara cukup jernih dan keras walau belum stereo. Namun, ketika menggunakan headphones berkabel untuk mendengarkan musik, disinilah terlihat kelebihan dari smartphone ini, yang ternyata telah menggunakan Bulit-In DAC (Digital Audio Converter – untuk lebih jelas mengetahui apa mahluk ini, klik di sini).

    Kualitas musik yang dikeluarkan lebih berkualitas apabila dibandingkan dengan kualitas musik dari iPhone maupun MacBook yang biasa saya gunakan. Sayangnya, DAC tersebut saat ini hanya bekerja untuk beberapa aplikasi, seperti Spotify, Play Music, YouTube, dan aplikasi pemutar musik bawaannya. Moga-moga kedepannya akan diperbaharui agar bisa bekerja untuk Apple Music juga.

  5. Kamera depan.
    Kamera depan Vivo V7+ Intan Wibisono
    Idola para selfie mania.

    Vivo V7+ ini memiliki kamera depan dengan resolusi 24 megapixel. Memang itu adalah angka yang tinggi dan terlihat seperti kamera yang akan membuahkan hasil yang baik, namun sebenarnya ukuran resolusi tidaklah menentukan kualitas foto yang dihasilkan, hanya ukuran foto saja. Yang lebih menentukan adalah ukuran sensor kamera tersebut, di mana semakin besar ukurannya, semakin banyak cahaya yang diserap dan membuat hasil fotonya semakin jelas. Untungnya, ternyata hasil foto yang dihasilkan oleh kamera ini jauh dari kata jelek. Hasil foto tajam, warna yang ditangkap cerah, yang memungkinkan untuk menghasilkan foto-foto selfie yang memuaskan hasilnya. Aplikasi kameranya juga cukup baik. Memang desainnya terlihat kurang orisinal, (sangat terinspirasi oleh desain antarmuka iPhone) namun hal ini membuat penggunaannya lebih mudah, karena lebih familiar. Ada beberapa efek yang diberikan di aplikasi kamera nya. Tentunya, fungsi Face-Beautifying hadir di sini.

    Ini namanya Intan Wibisono
    Dengan menggunakan “bokeh” mode
    Intan sebenarnya cakep, tergantung jam dan hari apa.
    Hasil kamera depan di kondisi dalam ruangan yang terang
    saya
    Lagi, hasil menggunakan “bokeh” mode.
    Ramen Sanpachi
    Hasil kamera depan di dalam kondisi remang-remang restoran Jepang di bilangan Blok M

    Namun sebagai orang yang tahu diri untuk tidak banyak mengunggah muka saya yang non-fotogenik, saya lebih menyukai fungsi pengeditan foto yang sudah dilengkapi dengan beberapa efek warna yang menurut saya cukup lengkap agar terlihat seperti foto-foto di akun selebgram terkenal.

  6. Kelengkapan.
    Vivo V7+
    Anti gores? Ngapain?

    Smartphone ini dilengkapi dengan pelindung layar & casing dalam kemasan aslinya. Memudahkan bagi pembelinya sehingga tidak usah membeli asesoris lagi. Saya secara pribadi tidak pernah menyukai smartphone dengan tambahan anti gores, jadi saya tidak menggunakannya (ya, saya suka hidup berbahaya dan penuh tantangan).

  7. After sales service dan garansi yang tersedia di mana-mana dan gampang ditemukan.

    Saya baru mengetahui bahwa service center Vivo memiliki kebijakan untuk mengganti sebuah handset yang mengalami kerusakan, apabila spare parts nya tidak tersedia dalam waktu 24 jam. Sangat berbeda dengan pengalaman saya dengan smartphone merek lain yang mengalami kerusakan LCD, dan harus menunggu seminggu sampai barangnya tersedia. Garansi, hotline service center dan panduan sudah tersedia secara elektronik di dalam menu Settings smartphone ini. Sungguh praktis!

 

Faktor Ya Udah Lah:

  1. Funtouch OS.

    Sebagai seseorang yang lebih menyukai tampilan & fungsi Android murni, tampilan Funtouch OS ini terlalu “iPhone” buat saya. Cara berinteraksi dengan settings, tampilan, maupun ketiadaan App Drawer, membuat smartphone ini terasa seperti versi Androidnya iOS. Untungnya dengan Android, selalu ada Launcher yang menyediakan alternatif untuk saya yang menyukai tampilan Android murni. Setelah mencoba beberapa Launcher, saya akhirnya menggunakan Nova Launcher, karena tampilan Android O nya, dan adanya fungsi App Shortcut ketika menekan aplikasi selama satu detik.

    Screenshot_20170926_220758
    Nova Launcher, kau adalah penyelamatku!

    Paling tidak, OS Funtouch ini memberikan pengalaman penggunaan yang fluid, tanpa jeda, memiliki system pengaturan memori yang baik, dan terasa ringan.

  2. Kamera belakang.
    Vivo V7+ Camera
    Kamera belakangnya ya… Biasa aja.

    Kamera belakang dari Vivo V7+ ini rasanya agak campur sari performa nya. Di kala kondisi cahaya terang, kamera ini membuahkan hasil gambar dengan detail yang baik, tajam, dan Dynamic Range yang bagus.

    Namun, ketika berada di dalam ruangan, apalagi dengan pencahayaan yang kurang terang, kualitas foto menurun dengan drastis. Detail foto hilang karena kamera nya mencoba menyamarkan kekurangannya dengan menghilangkan noise, tapi hasilnya adalah detail yang terlihat seperti polesan. Walau begitu, kecepatan kamera untuk fokus tetap bagus meskipun pencahayaan kurang baik.

    Saran saya, jangan ragu untuk menggunakan kamera smartphone ini ketika pencahayaan bagus. Ketika sedang gelap, gunakan flash sebisa mungkin, atau berteman dengan orang-orang yang membawa senter LED dengan kekuatan 10,000 lumen.

Faktor Aduh:

  1. Kualitas audio ketika dihubungkan dengan headphone Bluetooth. b5878b7be13943509a21fa3688125e6736ab5c67bf7149164474d24b8a40fc65 Saya teringat kepada Tuhan ketika mendengar kualitas suara smartphone ini ketika dihubungkan dengan Bluetooth headphone, dan bukan karena kualitas yang baik. Suaranya kecil, detail tidak terdengar dengan jelas, sehingga membuat saya lebih banyak menggunakan headphone berkabel untuk mendengarkan musik di smartphone ini, yang tidak sepraktis Bluetooth. Hal ini merusak pengalaman ketika membawa smartphone ini sebagai pemutar musik dikala berolahraga, karena kabel yang berlarian kemana-mana. Seharusnya hal ini tidak terjadi, karena pengalaman saya selama ini menggunakan smartphone dengan headphone Bluetooth maupun berkabel, semuanya memberikan pengalaman yang konsisten.
  2. Micro USB.
    Vivo V7+
    Micro USB di tahun 2017…

    Konektor micro USB di tahun 2017. Serius nih? Saya pernah menggunakan Asus Zenfone 3 keluaran tahun lalu, yang sudah menggunakan USB C. Memang tidak fatal karena saya selalu memiliki berbagai macam konektor tergelatak di rumah atau kantor, tapi sebagai seseorang yang menilai sebuah smartphone dari pengalaman menggunakan, meraba-raba konektor ketika gelap untuk menentukan sisi mana dia harus menghadap ketika harus mengisi daya bukanlah pengalaman yang positif.

  3. Kontrol musik ketika layar terkunci.
    Vivo V7+ interface
    Ini tampilan ketika sedang memainkan musik (Spotify) dari layar utama. Harus unlock dulu untuk bisa skip musik. Sungguh praktis.

    Ini agak fatal menurut saya. Ketika saya menggunakan Apple Music atau Spotify dan ingin masuk ke fungsi kontrol music (stop, play, next/back), saya tidak bisa mendapatkannya dari posisi layar terkunci. Saya harus buka dengan sidik jari atau kode pin, swipe layar paling atas untuk mendapatkan fungsi kontrol, atau membuka aplikasi musik tersebut. Sangat tidak praktis. Seharusnya ini sesuatu yang dapat diobat dengan OS update, tapi saya bingung aja kenapa hal seperti ini terlewati, padahal seharusnya kekuatan Vivo adalah Kamera dan Audio nya.

Kesimpulan:

Tidak ada gadget yang sempurna. (Kesempurnaan itu hanya milik Tuhan dan Emma Stone) Tapi, segala faktor Mantap di atas tadi cukup untuk membuat saya bisa menerima segala kekurangan smartphone Vivo V7+ ini sebagai gadget yang akan saya pakai secara harian. Desain yang enak digunakan dan digenggam, layar yang bagus, performa yang bebas drama dan umur batere yang panjang sangat memenuhi kebutuhan saya, terlebih untuk urusan menonton video di jalan dan penggunaan normal sehari-hari (rentetan e-mail dengan kuantitas besar, berbagai grup WhatsApp & tentunya penggunaan berbagai aplikasi social media).

Jadi, apakah Vivo V7+ ini layak dibeli? Berikut adalah bagan sederhana untuk menentukan apakah Anda harus mempertimbangkan smartphone ini atau tidak:

Screen Shot 2017-09-30 at 17.10.04

 

 

Advertisement

GrabHitch – Nebeng Asik Dari Grab

“Banyak hal menakjubkan yang dapat dicapai apabila gengsi dilupakan.”

seseorang bijaksana yang saya lupa siapa namanya. 

Saya dapat mengkonfirmasi kebenaran kutipan di atas sebagai pengguna ojek online sehari-hari meskipun telah memiliki mobil pribadi. Dengan area rumah di Bintaro dan kantor di Blok M, macet adalah menu wajib setiap harinya, dan hal itu hanya dapat diatasi dengan dua hal; menunggu sampai macet lebih reda, punya Pintu Kemana Saja, atau yang paling masuk akal, menggunakan jenis transportasi yang bebas macet.

Saya memilih melupakan kenyamanan mobil dan menggunakan ojek online karena tiga hal; Pertama, ojek sampai lebih cepat dibandingkan menggunakan mobil. Kedua, ongkos yang lebih murah, dan ketiga, fleksibilitas tempat penjemputan atau penurunan, sesuatu yang belum dapat disamakan oleh kereta api (kecuali rumah & kantor kamu paaas banget sebelah stasiun, yang menjadikan kamu minoritas dalam statistik, dan sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, kamu tak layak berbicara).

Sampai saat ini, saya berpindah-pindah menggunakan jasa dua provider ojek online, antara GoJek & Grab, tergantung ketersediaan driver dan ongkos saat itu. Tapi, ada satu hal yang kayaknya berpotensi membuat saya pindah sepenuhnya ke Grab untuk urusan transportasi kantor-rumah, yaitu GrabHitch, inovasi terbaru dari Grab.

Screen Shot 2017-03-27 at 12.25.06

Apa itu GrabHitch? Sederhananya, GrabHitch dapat dikatakan sebagai “nebeng searah”. Sistem ini memungkinkan kita menemukan Teman Tebengan yang rutenya searah dengan kita, dan menyesuaikan dengan jam kita juga.

IMG_0955IMG_0960

Cara menggunakannya simple. Cukup pilih fungsi GrabHitch di aplikasi Grab, pilih lokasi penjemputan dan penurunan, waktu penjemputan (jam dan hari), lalu kamu bisa melihat berapa ongkosnya.

IMG_0956

Ini adalah salah satu kelebihan Grab Hitch menurut saya – efisiensi ongkos! Kalau biasanya rute Blok M – Bintaro memakan sekitar Rp 20 – 40 ribu tergantung kondisi jalanan, GrabHitch menurunkan tarif lumayan banget, jadi Rp 14 ribu per trip! Lumayan tuh, sebulan bisa ngirit Rp 180 ribu, yang bisa diinvestasikan untuk ngopi sama gebetan atau selingkuhan yang potensial.

IMG_0957

Nah yang harus diperhatikan nih, karena ini sistem nebeng dan nasib kita berada pada tangan orang yang memberikan tebengan, pasang profile pic yang membuat kamu terlihat terpercaya oleh Teman Tebengan kamu. Tips: Untuk lebih mudah pendapatkan pemberi tebengan, jangan menggunakan profile picture dengan ekspresi psikopat, masker barong, atau berornamen anggota FPI.

Yang kerennya lagi, kita juga bisa memilih gender Teman Tebengan, jadi selain memberikan kenyamanan lebih, bisa juga digunakan untuk mencari jodoh yang searah! (saya bisa mendengar jomblo-jomblo Bekasi bersorak sorai)

IMG_0958

Selesai memasukan segala pilihan kamu, submit, dan sekarang tinggal menunggu para teman tebengan GrabHitch yang searah dan sewaktu dengan kita. Simpel! Saya akan menggunakan jasa GrabHitch ini selama dua minggu ke depan untuk bisa melihat segi positif/negatifnya lebih dalam. Selamat mencoba!

Undangan Untuk Para Alien Di Luar Sana.

Dear alien,

Kalau kalian membaca ini, besar pengharapan kami agar kalian datang ke bumi dan menyatakan perang terhadap kami, rakyat Indonesia.

Agar kalian tidak bingung , akan saya ceritakan sedikit latar belakang permintaan saya. Sejauh sejarah manusia berada, kami selalu menemukan masalah besar yang secara tidak langsung mengakibatkan kami bersatu, mengabaikan perbedaan ras, agama, gender maupun suku bangsa. Baik itu perang dunia, maupun perang kemerdekaan Indonesia, semua dimenangkan dengan persatuan menentang kekuatan oposisi kuat, dan membuahkan kemenangan bagi pihak yang bersatu.

Masalahnya, Indonesia saat ini mulai kehabisan musuh. Pihak Belanda maupun Jepang sudah tidak menjajah, PKI sudah tidak relevan, dan Soeharto sudah tidak menjadi Presiden lagi. Alhasil, kita defisit musuh untuk dijadikan alasan bahu membahu untuk mencapai suatu impian bersama, dan sekarang kita bermusuhan satu sama lainnya untuk semata-mata memperebutkan jabatan politis, uang, atau ego agama siapa yang paling benar dan suci. Yang tadinya satu, bersaudara, bercanda bersama sambil minum kopi dan pisang goreng, sekarang menganggap yang lainnya musuh hanya karena beda keyakinan dan pilihan pribadi.

Karena itu, tolonglah datang. Bawa teman-teman monster kalian seperti Godzilla, Muto, atau mungkin angin Tornado pembawa hujan ikan Hiu. Apapun yang bisa membuat rakyat Indonesia ini bersatu lagi seperti dahulu. Hancurkan semua simbol pemerintahan kami, tempat beribadah kami, dan segala pusat perbelanjaan kami. Ratakan segala hal tidak penting yang memberikan label, membeda-bedakan kami dan cara pandang kami. Sadarkanlah kami, bahwa kami ini lebih dari sekedar penganut agama tertentu. Lebih dari sekedar pendukung calon politisi di pemilihan mendatang, dan lebih dari sekedar bermata sipit atau berkulit sawo matang. Sadarkanlah kami, bahwa kami adalah sesama rakyat Indonesia yang satu, rakyat Indonesia yang sama dengan pendahulu kami, yang mampu mengesampingkan segala perbedaan demi satu tujuan bersama, Indonesia kami.

P.S: Saya juga melampirkan surat ini ke salah satu agen kalian, Melly Goeslaw, agar lebih cepat sampai ke meja korespondensi kalian.

Tertanda,

Salah satu rakyat Indonesia yang prihatin.

In Defense Of 2016

2016-meme-5

As I’m sitting at home, planning what mischievous activity shall I do to welcome 2017, it left me with a deep thought about 2016. It’s not a secret that for many, 2016 wasn’t a kind year.

Idols were lost. Faith were disrupted, unity was tested, common sense was distorted, and Toyota Sienta was launched. It’s a year where we realized that the world we’re living in and the people who we thought we know, isn’t a perfect one after all. A villainy year that crushes dreams and kill everything happy in its path.

Regardless, I would like to step in and offer a perspective that 2016 is a necessary year for all of us.

Here’s the thing. I believe that changes won’t come without a painful tension. Growing pains. And 2016 played a really great role in being the necessary evil that acts as our wake up call to change.

Here are several points that 2016 teaches us, albeit harshly.

  1. Make the most of your life.

I know it sounds cheesier than a Richeese Factory, but hear me out. 2016 left us with so many great & talented people taken away from us. Even without mentioning the likes of Bowie, Rickman or Fisher, 2016 took someone close to me. A best friend since high school who designed & built the house that i’m currently leaving in.

It hits me hard, but it also teaches me that life is short, and you have to make the most of it. Many of those who left us this year are the people who contributed greatly for the world. But they left us while making a victory pose since they’ve done their part in making this world a better & greater place. They gave us Major Tom, the best bathroom song ever, & Princess Leia. They left a heritage that forever changed the world (and where I literally live in).

It made me envious of their achievement, and left me with a wish to live a more meaningful life, that actually creates a tangible positive impact to this world, and to live my life everyday like it’s my last one. It left me with a promise to not live a life that I will regret someday.

2. If you don’t stand for what you believe in, someone else will.

One thing that also shocks the world was the Trumping victory (I’m sorry, I have to) of Donald Trump. And one of the causes of his victory was due to the high number of potential voters who decided not to go to the election post & casts their vote. They chose to not act, and now they have Donald Trump as their president. Regardless how America is a 20 hours flight away, what happened there reflects the same with what can happen in Indonesia.

The magic of internet allows like-minded people to find each other and voice a unified message. Unfortunately, it also applies for those who are dissatisfied with this better Indonesia. What makes matters worse, their numbers seems greater than the ones who does believe in good governance & unity.

I do have faith that those who believe in greater good still has the highest number, but it just doesn’t show. Too many of us, sensible middle class, are busy with our work, doing business, making ends meet or just planning for the next Coldplay concert. We need to get off our Herman Miller chair and start making things happen. Go to the streets, join a positive cause, or simply flag hoax news that you’ve found in Facebook. The time calls for the good guys to act before it’s too late.

3. Hope is all but lost.

Despite how grim this year is, even for Apple, good news with a promising potential are always there. I’ve seen people who are having difficulties conceiving finally  experiencing their childbirth, people around me who decided to not give up during hardship despite the enormous pressure, and even a turning point for a tech company who’s known to be humdrum. Hope is not lost, and it’s given to those who refuses to stop trying, and continue to fight.

Change has never been a comfortable thing, and 2016 plays a great role as a distressing agent-of-change that made me realize these lessons. Thank you for being that bitter coffee that made us fully awaken.

Hopefully we’re gradually ready for 2017 (who I think holds more surprises than its predecessor) and no matter what, I wish us a great year ahead, because we will make it a great one with our own hand. Peace.

The Oppo F1s Raisa Edition Is Here, And It’s More Than What It Seems.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with hb1 preset

In some ways, being a gadget reviewer is not a hard job. We review gadgets objectively, based on the features, specification and performance. If the device performs well according to its spec and price, it earns our praise and recommendations, and when a device under-deliver what it promises to be, we feel the need to lift our forks and casts the first stones.

That’s why when Oppo launched their F1s Raisa Black (or was it Black Raisa?) Edition, I cringed. Not only was it basically a pitch-black version of their popular F1s, which let’s face it, doesn’t have that salivate-inducing sexy spec nor brand for us enthusiasts, it also bears the signature of a newcomer artist who in my not-so-humble opinion, haven’t really deserve to have her signature etched in limited edition gadgets. It’s too easy to scoff at this venture.

Processed with VSCO with hb2 preset
From Raisa With Love
Processed with VSCO with hb2 preset
Inside, it’s the familiar F1s with Oppo’s custom operating system which surprisingly is very user friendly.

But then I heard the presentation from the lovely Miss Alinna Wenxin and also see Raisa’s live performance, which made me realized three surprising (at least for me) insights:

  1. The Oppo F1s is proven to be a great mid-range device. Couple of points that supports that statement: First, it has a satisfaction rate of 98.7% – according to SWA Magazine – and second, Oppo is the second highest selling manufacturer in Indonesia, right below Samsung. This is not an easy feat, knowing the number of smartphone players available in Indonesia. Great hardware holds no guarantee. Just ask OnePlus.

    OLYMPUS DIGITAL CAMERA
    98.7% satisfaction rate. I’m pessimistic anyone will receive this excellent rate even from their spouses.
  2. Oppo knows their stuff. By positioning the F1s as the ‘Ultimate Selfie Expert’, it has successfully position itself as the king of selfie phones. Again, as a gadget enthusiast who subjectively prefer to shoot anything other than my unphotogenic face, this is something to belittle about. However, as it turns out, i’m a minority. More and more people adopts the habit of taking selfies, and realize just how Oppo can improve their lives by providing a great 16 megapixel front camera with great beautification enhancements software. Oppo sees that and strike a home run with the F1s. Its market share is a concrete evidence of their successful creation.

    OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with a6 preset
    If one has a penchant for selfies, can he/she be called as a selfiesh person?
  3. Raisa & Oppo is a great match, since they’re both a very hard-working brand. Having heard Raisa singing, I knew that she’s talented. But as I see her performing in front of me, and taking her precious time to engage with her loyal fans, it came to my realization that polishing those talent and convert it to stardom requires an undeniable hard effort, which most people (including me) tend to overlook. Talent or inherent trait will get you noticed, but dedication and hard work will get you places and sustain you there. Raisa shares the same story with Oppo. They’re a newcomer in a heavily saturated market who’s able to fight their way to the top, using hard work and dedication.

    Processed with VSCO with 7 preset
    Raisa’s squad of loyal fanbase.

It’s very easy to judge a product or anyone based on the surface, but take some time to understand them and read between the lines. You’ll find a deeper lesson that goes beyond spec sheets or album covers. Congrats for the launch, Oppo & Raisa. Stay exemplary!

Processed with VSCO with hb2 preset
Thank you Oppo for inviting me, and providing me an awesome tumbler which I’m currently having my coffee with.

Pelajaran Mengenai Indonesia Dari Jalanan Jakarta

Processed with VSCO with c2 preset

Sebagai seseorang yang tinggal di Jakarta, sudah tersurat bahwa sebagian besar hidup saya akan dihabiskan di jalanannya yang macet. Agar waktu tersebut tidak terbuang dengan sia-sia, saya sering menggunakan waktu tersebut untuk mengamati. Mengamati jalanan tersebut baik dari penggunanya, bentuknya, pelaksananya, dan segala hal yang terjadi diatasnya.

Lucunya, semakin saya mengamati, semakin saya menyadari bahwa apa yang terjadi di jalanan kita ini dapat menggambarkan bagaimana negara kita dijalankan oleh pemerintah, dan bagaimana sifat dasar dari bangsanya sendiri. Kesimpulan ini saya rangkum menjadi lima buah hal dibawah ini:

1.Pemerintah hanya mempedulikan mereka yang punya uang.

trotoar

Hal ini paling jelas terlihat dari trotoar Jakarta, atau kurangnya trotoar tersebut. Banyak jalan yang sama sekali tidak mengindahkan nasib pejalan kaki. Yang paling besar peruntukannya: kendaraan bermotor. Kenapa? Karena itu berarti pajak ekstra bagi pemerintah, baik dari pajak kendaraan bermotor maupun pajak kontribusi dan nilai investasi dari para pabrikan kendaraan. Memang ada beberapa daerah seperti Kuningan atau SCBD yang memiliki trotoar bagus, tapi itu rata-rata karena ada campur tangan pemilik daerah atau gedung sekitar yang ingin daerah mereka terlihat manusiawi dan layak diposting di Instagram. Hal ini sebenarnya juga terlihat dari kualitas angkutan umum yang buruk dan prehistoris, yang memicu bertambahnya kepemilikan kendaraan bermotor, dan membuahkan kemacetan. Ya iya lah. Kalau punya uang kenapa harus menggunakan Metro Mini lalu kecopetan? (Jadi tidak selamanya kemacetan itu salah Foke)

2. Kita dipimpin oleh politisi, bukan negarawan.

politisi-ppp-gulingkan-meja-A3A

 

Banyak keputusan pemerintah yang diambil itu hanya jangka pendek. Contoh paling konkret – memecahkan kemacetan dengan pelebaran jalan, bukannya membangun akses dan transportasi publik. Kenapa hal ini dilakukan? Karena mereka tidak ingin masa jabatan mereka dikenang dengan membuat kota ini tambah kacau dan macet dengan pembangunan fasilitas umum yang lebih baik. Kalau masa jabatan mereka tidak dinodai dengan ini, kesempatan mereka dipilih kembali saat Pilkada berikutnya lebih besar. Pola pikir seorang politisi. Seorang negarawan tidak perduli dengan image atau popularitas mereka, karena mereka lebih mementingkan impact dari perbuatan mereka yang dilakukan untuk sesuatu yang lebih besar dari mereka, yaitu negara mereka. Orang seperti ini semakin jarang ditemui. Begitu ada, dicap kafir lah, atau dimusuhi ras nya lah. Nasib jadi orang yang peduli sama negaranya itu ya begini.

3. Selama kita terlihat santun dan beragama, kita bisa lolos melakukan apa saja. (Need i say more?)

fpi-konvoi
Yang penting religius. (Photo credit to ADEK BERRY/AFP/Getty Images)
4. Kebersamaan dan gotong royong kita tidak mengenal konteks.

news_2886_1374485396
Bersatu kita bisa! (melawan aturan)
Sifat dasar orang Indonesia itu adalah kolektif. Mangan ora mangan kumpul, katanya. Beda dengan orang bule yang mangan sendirian juga oke, seng penting mangan. “Ngga kompak”  adalah dosa yang menempati posisi tinggi di kebudayaan kita. Sayangnya, sering kali hal ini tidak memandang konteks. Melanggar peraturan? Ngga papa, kan ramai-ramai. Bakar maling? Ngga papa, kan kita semua udah sepakat dia harus dihajar atas kejahatannya. Korupsi? Ah, yang lain juga gitu kok. Untuk sebuah bangsa yang bangga akan kekuatan kebersamaannya, kita itu sebenarnya sangat egois.

5. Ketidak tahuan dan ketidak pedulian adalah akar dari segala masalah.

SIM nembak

Orang yang biasanya melanggar lalu lintas itu melakukannya karena mereka tidak tahu apa tujuan mematuhi peraturan, apa dampak bagi orang yang hak atau jalurnya ia ambil. Kalau di lalu lintas hal ini terjadi karena SIM bisa nembak, sehingga mereka tidak menyadari faktor “kenapa” mereka harus mematuhi aturan tersebut. 

Pada level yang lebih tinggi, hal ini bisa dihubungkan kepada hobi orang kita yang getol untuk korupsi. Seringkali karena ketidak tahuan mereka akan korupsi itu sendiri lah yang mengakibatkan mereka tidak perduli, dan membuat korupsi tersebut terjadi (selain dari “pelumrahan” – saking umumnya terjadi, sehingga dianggap biasa). Itu mengapa saya senang sekali dengan inovasi terbaru dari KPK, portal untuk pembelajaran segala bentuk korupsi, mulai dari jenisnya apa saja, lalu apa yang bisa dikategorikan sebagai korupsi, dan dikemas dalam bentuk yang menarik dan interaktif. Akan lebih baik apabila semakin banyak orang dapat mengetahui apa saja yang dapat dikategorikan sebagai korupsi dan mencegahnya, dengan mempelajari situs ini. (oh, dan situs ini mobile-friendly. Silakan dibuka dari smartphone Anda)

ACLC KPK

Masalah bangsa ini memang tidak sedikit. Wajar, karena menurut saya kita baru merdeka dalam arti sesungguhnya tahun 98 kemarin. Belum sampai 20 tahun. Masih banyak PR yang harus dilakukan untuk membenahinya. Hal paling sederhana yang bisa saya lakukan saat ini adalah dengan mulai berlalu lintas lebih tertib, karena dari situlah kelihatan bagaimana mentalitas saya sebenarnya. Apa hal kecil yang bisa kamu lakukan untuk membuat negara ini jadi lebih baik?

The OnePlus X is finally here! – First Impression

Among the sea of Android handset manufacturers, for me personally, there are 3 manufacturers that stand out most at the moment:

52839918
Xiaomi – for producing great phones with exemplary build quality at an incredible pace that has one of the best android skin out there and great price.
54680551
Samsung – for knowing that their past plasticky designs are crap and having the balls to really turn things around with their Galaxy A & S series, which makes them truly going toe-to-toe with Apple (finally!), and then there’s the OnePlus.
0Oneplus-logo
I won’t fault you if you haven’t heard about this peculiar Chinese brand, it’s because of 1) they’re new, and 2) they are not available broadly due to the unique way they market & distribute the product (read: ridiculous).
download
But they have created devices that has flagship specifications with half the price of a Galaxy S6, which gained them great reputation from their users and blows the online reviews out of the water.
It suits their motto – Never settle – where it supposedly reflects their desire to always push the boundaries of what a flagship phone should be. (it’s a great motto, but you might not want to implement it to your love life)
black-red_NS
Now, they’re officially entering the market through official sales channel locally with OnePlus X, their lower range device compared to their flagship, the OnePlus 2 . It has the older Snapdragon 801 processor (which is definitely no slouch), 3 gigs of RAM, and 16 gigs of internal memory with expendable storage capability.
1495368577617966660
photo courtesy of Gizmodo
What’s so special about this device? Well, for starters, it uses glass & metal constructions – the premium materials that most flagship phones uses – but here’s where it truly shines: the price. It costs US$250, or around 2,8 – 3,3 million, depends on where you’re getting them.
Right now it’s sold through BliBli, but you can always find some agan-agan reseller in KasKus peddling them as well. For the price, it’s hard to find other phones that can compete with the specifications while wrapped in such exceptional choice of material.
OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with hb1 preset
That clean & solid packaging that looks like Apple’s.
Let’s start with the packaging. In short, it’s Apple-esque in terms of the material & craftsmanship that they used. Thick & smooth carton laminated in doff finishing, that gives you that slow drop when you’re opening the device.
OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with hb1 preset
It opens with that slow-drop dramatic that most people are familiar with Apple packaging.
Opening it, you’re presented with the device neatly on top of the first box layer. Lift it out, and you’ll see the cool tangle-free OnePlus USB cable that makes other USB cables look thoughtless in comparison.
Processed with VSCO with hb1 preset
Providing unique cables compared to the other manufacturers. Showing that you sweat about the small stuff.
Processed with VSCO with hb1 preset
The charger is fast charging one with thick plastic. Nice.
There’s also your regular stuff, SIM tool (that you can replace with paperclip), papers & warranty, but no headphones included. This is basically to reduce the cost, and since i already have several headphones, i won’t be losing sleep over this.
OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with hb1 preset
What’s in the box
What surprises me are the inclusion of screen protector (installed) and a silicon case. Something that no other brand haven’t done before. I guess the reason why they do this is because of the phone’s design itself. Just look at it.
OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with hb1 preset
Black silky slab of glass & metal
OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with hb1 preset
The rear side is also glass.
Silky smooth black glass sandwich the solid metal frame, with ridged texture on the sides and button. It’s truly a beauty to behold. Some people are comparing this with the iPhone 4 which in my opinion, remains Apple’s phone with the best choice of material by far. The cold & silky feeling and the heft does a good job of assuring you that this is a premium device. A jewel perhaps.
OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with hb1 preset
The detailed ridges texture of the frame with the metal textured buttons. Class.
OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with hb1 preset
Memory card & Nano SIM card slot.
The size (5 inch) also makes it the perfect size for me. Some people take comfort in smaller screens or bigger ones, but my sweet spot is 4.7-5.1 inch, and this phone suits it nicely. This phone supports either dual SIM card (for that other person you want to hush about? – hey, I won’t judge) or Micro SD card on its tray. I do prefer separate slots, but this will do just fine since I only use one phone number.
OLYMPUS DIGITAL CAMERA          Processed with VSCO with c2 preset
Can’t wait to put this device to its pace.
I’ll be using this phone as my main device for the upcoming days, to see where it performs in processor performance, battery life, camera, sound quality, and overall durability – since my phones are usually drenched in sweat whenever I took them for running, and just the overall day-to-day perks of using them.
Feel free to shoot any questions and i’ll try my best to answer them. Cheers!

Shot with the Leica M240

Had the opportunity to try my dream camera, the Leica M240, for awhile. 
Despite the minor adjustments, rangefinder turns out provides a wonderful shooting experience that once accustomed to it, it’s a downhill ride afterwards. The solid build quality, that compact yet magnificent lens, and the way the shutter button feels when you press it. 

One thing that’s hard for me to get accustomed to is the speed, which definitely is lacking compared to modern day DSLRs. You need to be patient and take your time while it processes the image, which I find it hard to do. But if you do, the end results are simply breathtaking, especially in terms of details and color tone, making this camera in my bucket list of wonderful (and extravagant) things to own if I ever have the money to do it. 

Thank you Ernanda Putra for letting me play with it!

   
    
    
 

Spectre – A Bond for the die hard.

SPOILER ALERT. You’ve been warned.

Spectre_poster

I’m going to start this quick opinion of the latest Bond series by stating that i’m not a fan of the classic Bond series. I love Craig’s interpretation from Casino Royale and beyond. If you’re a fan of the classic ones, I’m sure you’ll disagree with me.

Spectre is a 148 minutes movie, and for people like me, or just a fan of deeper character exploration or story telling like the ones found in Casino Royale and Skyfall (Quantum Of Solace is a bit forgettable for me), it can be quiet repulsive. There are worse way to spend those hours though(*). You could be stuck on a Cipulir traffic jam, in a Toyota Agya, with its absurd new car smell, while needing to pee badly, or stuck watching the Kardashian’s on marathon with some girl that you’re trying hard to appeal to (**).

The character and plot exploration is as deep as an Aston Martin’s wading depth. Since I don’t believe that such lazy exercise of story telling is accidental, I assume that this Bond is truly designed for the real Bond fan in mind. Those who love seeing sensual women being seduced flamboyantly, high speed car chase action that involves flame thrower or machine guns, and expensive watches that can blow up, will be thrilled to see Spectre.

Even the enemy, Bloveld, is exactly the typical classic take on the Bond villain aside from his loafers. Predictable, having the most awkward reason out there to rule the world, and living inside some kind of crater. He doesn’t have the charisma as Raoul Silva, or Le Chiffre’s slither. I won’t blame Christopher Waltz cause I’m sure he’s an excellent actor, but more on the script that tells him to do so.

IMG_0107
An unpretentious classic Bond
This is the classic Bond that die hard fans had been missing ever since Craig had taken the helm. Hence there are some discrepancies. Craig feels out of place in pulling this version of Bond. He’s simply not a flamboyant figure. Spectre is a fit for a Roger Moore or Pierce Brosnan, but not Craig. I can see why he’s glad to be out of it, and so am I.
I almost feel bad for Monica Bellucci. Her role was minor and only act as a sexy side dish. In my opinion, she deserves more. But then again, this is one of those Bond movie, and she knows what she was getting into. Don’t get me started on Sam Smith. Just don’t.

Overall, it’s still better than watching any Transformer franchise or Adam Sandler’s movie though. 5 out of 10.

(*) My highlight was actually the event itself. It’s sponsored by Heineken, and trust me, you don’t want it to be sponsored by anything else. Free flow of beer, great music by Dipha Barus & some Bond scene reenactment.

(**) No girl is worth going through a Kardashian marathon.

MIUI 7 for the Xiaomi Mi4i is here!

While the Xiaomi Mi4i remains one of my favourite Android phone to use on a daily basis, it feels that it should have a smoother performance after days without restarting. The Redmi 2 Prime that I use feels smoother on a day to day usage even though the screen feels smaller and less sharper. I’m glad that i’m not alone that shares that sentiment since Xiaomi finally published an update for its OS, the MIUI 7!

The MIUI 7

I’ve been using them for several days. On an interface degree, minor changes has changed. You have more themes and subtle changes on more wallpapers, the drop down notifications or toggle information (you can see the full changes that MIUI 7 brings in here).

Beyond that, the changes that I welcome most is the performance part. It simply feels smoother. You don’t sense those minor lags during scrolling between home screens, and it definitely feels smoother in switching between apps or scrolling within them. On battery life, I personally don’t experience any difference compared to MIUI 6’s, which is a highly acceptable one.

Screenshot_2015-11-04-19-54-51
The new toggle look. Way clearer.
Screenshot_2015-11-04-08-25-10
The new built-in themes available. Personally i’d stick to the default only.

If you have the Mi4i, head on to your updater app to check for updates and download them. I used a more candid method though by downloading them directly in here and porting it manually (instructions in here). Do update it as soon as possible, cause it’s worth the performance upgrade alone.