Mari kita bicara mengenai stereotipe. Sebagai manusia, sangat susah bagi kita untuk menghindari penggunaan stereotipe dalam keseharian. Misalnya, ada stereotipe bahwa anggota DPR itu semuanya adalah koruptor, semua pengemudi Avanza tidak ada yang mengerti aturan lalu lintas, atau stereotipe semua orang yang bekerja di creative agency akan susah jodoh. Ada yang benar, tapi bila dilihat secara objektif, kebanyakan tidak.
Dalam dunia pergadgetan, ada stereotipe bahwa produk – produk yang dikeluarkan oleh merek seperti Vivo dan Oppo adalah produk untuk orang yang tidak tahu lebih baik. Orang – orang yang preferensi terhadap pilihan smartphone nya ditentukan oleh rekomendasi sales person di toko Hengky Cellular di ITC terdekat, atau karena smartphone itu digunakan oleh seleb terkenal seperti Afgan atau Raisa. Smartphone untuk orang-orang yang tidak mengerti rasio spesifikasi & harga barang, yang penting mereknya familiar buat mereka, dan terlihat ada di mana-mana. Stereotipe bahwa smartphone ini adalah produk dengan spesifikasi ala kadarnya yang tidak akan memberikan pengalaman memuaskan, dan label harga yang lebih mahal dari semestinya.
Pertanyaannya, apakah itu benar?
Saya beruntung bahwa saya berkesempatan untuk membuktikan stereotipe tersebut karena sejak beberapa minggu lalu, saya menggunakan produk terbaru dari Vivo, V7+ (yang sepertinya digemari oleh Agnes Monica dan peluncurannya disiarkan langsung oleh sembilan TV Swasta nasional), sebagai smartphone harian saya, yang biasanya adalah sebuah iPhone 6s.

Saya bisa katakan bahwa stereotipe tersebut tidaklah benar, dan smartphone ini adalah produk yang bagus, yang sejauh ini sangat memuaskan untuk digunakan. Alasannya akan saya bagi dalam tiga kategori: Mantap (segala yang sangat saya sukai dari smartphone ini), Ya Udah Lah (biasa saja) , dan Aduh (membuat saya menggaruk kepala dengan stress). Untuk yang ingin tahu spesifikasi lengkap dari smartphone ini, bisa lihat di sini.
Mari kita mulai dengan yang Mantap:
- Desain.
Tampilan hitam legam nan sederhana Unibody alumunium dengan garis antenna yang menarik Dengan ukuran sasis yang sama dengan smartphone 5.5 inch lainnya, Vivo V7+ ini dapat memuat layar full view 6 inch, dengan desain yang tipis, ergonomis, enak digenggam, dan memiliki penempatan tombol dan fingerprint sensor yang pas. Murah bukanlah kesan yang saya dapatkan ketika saya merasakan smartphone ini. Materi cukup baik dengan metal unibody dan Gorilla Glass 4.
Ketahanannya juga cukup oke. Saya memutuskan untuk menggunakan smartphone ini tanpa pelindung layar maupun jelly case yang disertakan dalam dusnya. Sekali waktu saya menjatuhkan benda ini (tidak sengaja, sumpah!) dari ketinggian sekitar 50cm ke lantai marmer, dan tidak menemukan penyok maupun lecet di body, atau keretakan di layar. (Harap dicatatat bahwa efek gravitasi terhadap gadget Anda itu bervariasi, tergantung posisi jatuh, tingginya tingkat hoki dan karma di kehidupan sebelumnya)
- Layar full view nya.
Layar “Fullview” 18:9 dengan bezel minim yang sangat masa kini Sangat cocok digunakan untuk memutar video Fungsi dual screen yang otomatis aktif ketika sedang di aplikasi YouTube Layar yang berukuran 6″ dengan rasio 18:9 dan resolusi 720X1440. Tidak terhindarkan bahwa akan ada sebagian orang dengan pengetahuan teknis yang baik, yang akan mencibir apabila melihat resolusi dari layarnya bila dibandingkan dengan produk lain di kelasnya. Namun lain halnya dengan pengalaman menggunakannya. Layar ini besar, terang dan gampang terlihat ketika berada di luar ruangan, dan yang terpenting buat saya, kalibrasi warna yang akurat. Sampai saat ini saya menghindari layar dengan saturasi warna yang terlalu kuat, seperti yang digunakan oleh Samsung, karena memberikan warna yang tidak akurat saat mengedit foto. Layar iPhone adalah alat andalan saya ketika harus berurusan dengan pengeditan foto, apalagi penyetelan warna. Nah, layar Vivo V7+ ini menggunakan kalibrasi warna yang natural, vibrant (walau sedikit kebiruan bila dibandingkan iPhone, tapi tidak mengganggu), dan menggunakan ambient light sensor yang akurat membaca situasi pencahayaan lingkungan sekitar, tidak seperti beberapa smartphone yang pernah saya miliki (uhukLGuhuk). Tidak pernah sekalipun saya merasa bahwa layar ini kurang tajam, kurang terang atau kurang berwarna berwarna. Layar ini juga berkontribusi terhadap performa batere yang mumpuni, seperti di poin berikut.
- Kinerja prosesor dan performa batere .
Performa tidak mengecewakan saat digunakan untuk permainan 3D dengan animasi yang berat. Skeptis adalah perasaan yang muncul ketika mengetahui bahwa smartphone ini menggunakan prosesor Snapdragon 450. Biasanya, smartphone dalam kisaran midrange ini selalu menggunakan prosesor jenis Snapdragon 6 series, yang performanya lebih mumpuni dari 4 series. Setelah menggali lebih dalam, ternyata saya menemukan bahwa seri 450 ini adalah keluaran terbaru dari Qualcomm yang memiliki performa melebih seri 430, memiliki arsitektur yang sama dengan seri 625, dan mempunyai kelebihan di umur batere yang lebih panjang. Setelah beberapa minggu menggunakannya, saya sekarang mengerti bahwa spesifikasi itu tidak selalu dapat diterjemahkan secara harafiah ke dalam user-experience. Saya tidak pernah menemukan skenario di mana saya membutuhkan daya lebih, meskipun ketika membuka aplikasi permainan 3D yang membutuhkan daya intensif seperti Asphalt 8 atau True Skate (yang notabene adalah simulasi Skateboarding terbaik yang pernah saya temukan). Umur batere nya pun sangat bagus. Saya selalu mengakhiri hari dengan sekitar 40% – 30% daya di smartphone tersebut, meskipun menggunakannya untuk push-email, memutar video sekitar 30 menit – 1 jam, permainan, penggunaan kamera & Instagram Moments yang cukup banyak, maupun internet tethering ketika harus memperbaharui sistem operasi iPhone saya (2GB tethering Telkomsel!). Secara keseluruhan, kinerja smartphone ini memuaskan. Kita lihat performanya setelah penggunaan yang lebih lama.
- Kualitas audio.
Mode HiFi otomatis menyala ketika menggunakan aplikasi yang didukung. Ketika berbicara mengenai topik ini, saya ingin menggaris bawahi bahwa yang saya maksud adalah kualitas audio ketika dihubungkan dengan headphone. Speaker bawaan Vivo V7+ ini sebenarnya cukup baik. Suara cukup jernih dan keras walau belum stereo. Namun, ketika menggunakan headphones berkabel untuk mendengarkan musik, disinilah terlihat kelebihan dari smartphone ini, yang ternyata telah menggunakan Bulit-In DAC (Digital Audio Converter – untuk lebih jelas mengetahui apa mahluk ini, klik di sini).
Kualitas musik yang dikeluarkan lebih berkualitas apabila dibandingkan dengan kualitas musik dari iPhone maupun MacBook yang biasa saya gunakan. Sayangnya, DAC tersebut saat ini hanya bekerja untuk beberapa aplikasi, seperti Spotify, Play Music, YouTube, dan aplikasi pemutar musik bawaannya. Moga-moga kedepannya akan diperbaharui agar bisa bekerja untuk Apple Music juga.
- Kamera depan.
Idola para selfie mania. Vivo V7+ ini memiliki kamera depan dengan resolusi 24 megapixel. Memang itu adalah angka yang tinggi dan terlihat seperti kamera yang akan membuahkan hasil yang baik, namun sebenarnya ukuran resolusi tidaklah menentukan kualitas foto yang dihasilkan, hanya ukuran foto saja. Yang lebih menentukan adalah ukuran sensor kamera tersebut, di mana semakin besar ukurannya, semakin banyak cahaya yang diserap dan membuat hasil fotonya semakin jelas. Untungnya, ternyata hasil foto yang dihasilkan oleh kamera ini jauh dari kata jelek. Hasil foto tajam, warna yang ditangkap cerah, yang memungkinkan untuk menghasilkan foto-foto selfie yang memuaskan hasilnya. Aplikasi kameranya juga cukup baik. Memang desainnya terlihat kurang orisinal, (sangat terinspirasi oleh desain antarmuka iPhone) namun hal ini membuat penggunaannya lebih mudah, karena lebih familiar. Ada beberapa efek yang diberikan di aplikasi kamera nya. Tentunya, fungsi Face-Beautifying hadir di sini.
Dengan menggunakan “bokeh” mode Hasil kamera depan di kondisi dalam ruangan yang terang Lagi, hasil menggunakan “bokeh” mode. Hasil kamera depan di dalam kondisi remang-remang restoran Jepang di bilangan Blok M Namun sebagai orang yang tahu diri untuk tidak banyak mengunggah muka saya yang non-fotogenik, saya lebih menyukai fungsi pengeditan foto yang sudah dilengkapi dengan beberapa efek warna yang menurut saya cukup lengkap agar terlihat seperti foto-foto di akun selebgram terkenal.
- Kelengkapan.
Anti gores? Ngapain? Smartphone ini dilengkapi dengan pelindung layar & casing dalam kemasan aslinya. Memudahkan bagi pembelinya sehingga tidak usah membeli asesoris lagi. Saya secara pribadi tidak pernah menyukai smartphone dengan tambahan anti gores, jadi saya tidak menggunakannya (ya, saya suka hidup berbahaya dan penuh tantangan).
- After sales service dan garansi yang tersedia di mana-mana dan gampang ditemukan.
Saya baru mengetahui bahwa service center Vivo memiliki kebijakan untuk mengganti sebuah handset yang mengalami kerusakan, apabila spare parts nya tidak tersedia dalam waktu 24 jam. Sangat berbeda dengan pengalaman saya dengan smartphone merek lain yang mengalami kerusakan LCD, dan harus menunggu seminggu sampai barangnya tersedia. Garansi, hotline service center dan panduan sudah tersedia secara elektronik di dalam menu Settings smartphone ini. Sungguh praktis!
Faktor Ya Udah Lah:
- Funtouch OS.
Sebagai seseorang yang lebih menyukai tampilan & fungsi Android murni, tampilan Funtouch OS ini terlalu “iPhone” buat saya. Cara berinteraksi dengan settings, tampilan, maupun ketiadaan App Drawer, membuat smartphone ini terasa seperti versi Androidnya iOS. Untungnya dengan Android, selalu ada Launcher yang menyediakan alternatif untuk saya yang menyukai tampilan Android murni. Setelah mencoba beberapa Launcher, saya akhirnya menggunakan Nova Launcher, karena tampilan Android O nya, dan adanya fungsi App Shortcut ketika menekan aplikasi selama satu detik.
Nova Launcher, kau adalah penyelamatku! Paling tidak, OS Funtouch ini memberikan pengalaman penggunaan yang fluid, tanpa jeda, memiliki system pengaturan memori yang baik, dan terasa ringan.
- Kamera belakang.
Kamera belakangnya ya… Biasa aja. Kamera belakang dari Vivo V7+ ini rasanya agak campur sari performa nya. Di kala kondisi cahaya terang, kamera ini membuahkan hasil gambar dengan detail yang baik, tajam, dan Dynamic Range yang bagus.
Namun, ketika berada di dalam ruangan, apalagi dengan pencahayaan yang kurang terang, kualitas foto menurun dengan drastis. Detail foto hilang karena kamera nya mencoba menyamarkan kekurangannya dengan menghilangkan noise, tapi hasilnya adalah detail yang terlihat seperti polesan. Walau begitu, kecepatan kamera untuk fokus tetap bagus meskipun pencahayaan kurang baik.
Saran saya, jangan ragu untuk menggunakan kamera smartphone ini ketika pencahayaan bagus. Ketika sedang gelap, gunakan flash sebisa mungkin, atau berteman dengan orang-orang yang membawa senter LED dengan kekuatan 10,000 lumen.
Faktor Aduh:
- Kualitas audio ketika dihubungkan dengan headphone Bluetooth.
Saya teringat kepada Tuhan ketika mendengar kualitas suara smartphone ini ketika dihubungkan dengan Bluetooth headphone, dan bukan karena kualitas yang baik. Suaranya kecil, detail tidak terdengar dengan jelas, sehingga membuat saya lebih banyak menggunakan headphone berkabel untuk mendengarkan musik di smartphone ini, yang tidak sepraktis Bluetooth. Hal ini merusak pengalaman ketika membawa smartphone ini sebagai pemutar musik dikala berolahraga, karena kabel yang berlarian kemana-mana. Seharusnya hal ini tidak terjadi, karena pengalaman saya selama ini menggunakan smartphone dengan headphone Bluetooth maupun berkabel, semuanya memberikan pengalaman yang konsisten.
- Micro USB.
Micro USB di tahun 2017… Konektor micro USB di tahun 2017. Serius nih? Saya pernah menggunakan Asus Zenfone 3 keluaran tahun lalu, yang sudah menggunakan USB C. Memang tidak fatal karena saya selalu memiliki berbagai macam konektor tergelatak di rumah atau kantor, tapi sebagai seseorang yang menilai sebuah smartphone dari pengalaman menggunakan, meraba-raba konektor ketika gelap untuk menentukan sisi mana dia harus menghadap ketika harus mengisi daya bukanlah pengalaman yang positif.
- Kontrol musik ketika layar terkunci.
Ini tampilan ketika sedang memainkan musik (Spotify) dari layar utama. Harus unlock dulu untuk bisa skip musik. Sungguh praktis. Ini agak fatal menurut saya. Ketika saya menggunakan Apple Music atau Spotify dan ingin masuk ke fungsi kontrol music (stop, play, next/back), saya tidak bisa mendapatkannya dari posisi layar terkunci. Saya harus buka dengan sidik jari atau kode pin, swipe layar paling atas untuk mendapatkan fungsi kontrol, atau membuka aplikasi musik tersebut. Sangat tidak praktis. Seharusnya ini sesuatu yang dapat diobat dengan OS update, tapi saya bingung aja kenapa hal seperti ini terlewati, padahal seharusnya kekuatan Vivo adalah Kamera dan Audio nya.
Kesimpulan:
Tidak ada gadget yang sempurna. (Kesempurnaan itu hanya milik Tuhan dan Emma Stone) Tapi, segala faktor Mantap di atas tadi cukup untuk membuat saya bisa menerima segala kekurangan smartphone Vivo V7+ ini sebagai gadget yang akan saya pakai secara harian. Desain yang enak digunakan dan digenggam, layar yang bagus, performa yang bebas drama dan umur batere yang panjang sangat memenuhi kebutuhan saya, terlebih untuk urusan menonton video di jalan dan penggunaan normal sehari-hari (rentetan e-mail dengan kuantitas besar, berbagai grup WhatsApp & tentunya penggunaan berbagai aplikasi social media).
Jadi, apakah Vivo V7+ ini layak dibeli? Berikut adalah bagan sederhana untuk menentukan apakah Anda harus mempertimbangkan smartphone ini atau tidak: